Breaking News

Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Jadi Tuan Rumah Rakernas I JATMAN: KH Chalwani Tegaskan Thariqah sebagai Jantung Perjuangan NU

Purworejo – Pondok Pesantren An-Nawawi, Berjan, Gebang, Purworejo, menjadi tuan rumah pelaksanaan Pelantikan dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Idarah Aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) untuk masa khidmah 2025–2030 pada Senin, 7 Juli 2025. Acara yang berlangsung dengan penuh kekhidmatan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional, ulama thariqah dari berbagai penjuru tanah air, serta ribuan jamaah pengamal thariqah.

Pelaksanaan Rakernas I JATMAN ini menjadi momentum strategis untuk menyusun program kerja nasional JATMAN lima tahun ke depan. Para pengurus Idarah Aliyyah yang baru dilantik akan segera menyusun langkah-langkah nyata untuk memperkuat jejaring tarekat mu’tabarah di seluruh Indonesia, termasuk menyentuh generasi muda melalui digitalisasi dakwah, pendidikan kader thariqah, serta penguatan spiritual di tengah tantangan zaman modern.

Dalam sambutannya, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, KH Achmad Chalwani, memberikan wejangan historis dan spiritual yang mendalam terkait dengan peran penting thariqah dalam sejarah perjuangan bangsa dan Nahdlatul Ulama (NU).

KH Chalwani menegaskan bahwa thariqah bukan sekadar tradisi spiritual, tetapi merupakan inti dari perjuangan dan identitas NU sejak awal berdiri. Ia mengingatkan bahwa pendiri NU, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, adalah seorang mursyid thariqah yang menekuni Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, yang ditalqin langsung oleh KH Mahfudz Tremas, Pacitan.

“Kalau saya bicara di depan Jama’ah Thariqah, saya teringat sejarah. Pendiri NU, Mbah Hasyim Asy’ari, adalah thariqah. Maka, agak aneh kalau ada pengurus NU yang belum thariqah. Gus Dur pun, cucunya Mbah Hasyim, juga thariqah. Tahun 1983 beliau ditalqin Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah oleh KH Son Haji dari Kebumen,” tutur KH Chalwani disambut tepuk tangan para hadirin.

KH Chalwani juga menyitir sejarah tokoh pejuang besar, Pangeran Diponegoro, sebagai santri sekaligus pengamal thariqah yang sangat ditakuti oleh penjajah Belanda.

“Santri yang paling berani melawan penjajah adalah santri yang sudah thariqah. Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro adalah santri thariqah Syattariyah, pernah belajar ke banyak pesantren termasuk di Bagelen Purworejo,” jelasnya.

Ia melanjutkan bahwa Belanda sendiri sangat khawatir terhadap kekuatan spiritual thariqah. Bahkan, Profesor Martin dari Belanda dalam sebuah diskusi di UGM mengakui bahwa Belanda paling takut terhadap gerakan thariqah, karena daya spiritualnya yang menyatukan dan membangkitkan semangat juang rakyat.

KH Chalwani juga menyebut peninggalan-peninggalan Pangeran Diponegoro yang hingga kini masih tersimpan di Magelang, yaitu Al-Qur’an, tasbih, dan kitab Fathul Qorib yang menurutnya menunjukkan komitmen sang pahlawan sebagai muslim, ahli dzikir dan pengikut madzhab Syafi’i, madzhab yang juga dianut NU.

Di hadapan para hadirin, KH Chalwani juga memohon doa restu atas amanah barunya dalam kepemimpinan JATMAN. Dengan rendah hati, ia mengakui keterbatasan fisik dan usianya yang telah memasuki 70 tahun.

“Saya sudah tua. Fisik saya tidak seperti dua tahun lalu. Saya sebenarnya siap menjadi orang keempat atau kelima dalam struktur kepengurusan. Tapi ternyata sembilan formatir meminta saya menjadi orang pertama. Maka saya mohon didoakan agar tetap sehat,” ungkapnya.

Ia juga berharap agar Pondok Pesantren An-Nawawi terus berkembang dan memberi kontribusi besar dalam pendidikan, dakwah, dan penguatan spiritualitas umat Islam, khususnya di bidang thariqah.

Mustakim
www.jejakkasusgroup.co.id
© Copyright 2022 - JEJAKKASUS.ID